“Ketika
delivering knowledge telah digantikan oleh Google dan Wikipedia maka peran guru
harus berubah dari pengajar menjadi fasilitator”
DALAM waktu amat cepat, beberapa dasa warsa terakhir telah
terjadi revolusi digital di berbagai negara beserta penggunaannya dalam
berbagai bidang kehidupan.
Keberadaan gadget dan internet sudah merupakan satu
kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan
global. Hal ini sudah tentu memberikan dampak terhadap corak dan pola kehidupan
umat manusia secara keseluruhan, tidak terkecuali pada sektor pendidikan.
Peserta didik saat ini tak lagi mengandalkan guru dalam memperoleh ilmu
pengetahuan.
Dengan cepat, mereka bisa mengakses informasi apa pun yang
dibutuhkannya melalui internet. Mulai dari tugas, buku-buku yang harus dibaca,
hingga gambar dan video yang bisa dengan mudah dan cepat diperoleh. Di mana
saja dan kapan saja bisa diakses. Dalam kondisi seperti itu masihkah guru
diperlukan? Dalam berbagai kesempatan, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan
bahwa guru memegang kendali yang besar bagi mutu dan kualitas pedidikan. Dengan
kata lain, guru menjadi kunci kemajuan pendidikan.
Lalu, dalam peran seperti apakah guru menempatkan diri
dalam proses pembelajaran? Metode ”guru menjelaskan” dan ”peserta didik
mendengarkan” tentu menjadi metode pembelajaran yang ketinggalan zaman. Bila
guru masih bertahan pada cara itu, dapat dipastikan proses pembelajaran menjadi
sangat membosankan. Peserta didik pun pasif karena tidak ada keterlibatan
secara emosional dalam proses pembelajaran.
Alhasil, pelajaran bagi siswa hanyalah fakta-fakta hafalan
tanpa ada ketertarikan dan minat untuk memaknainya. Ketika delivering knowledge
telah digantikan oleh Google dan Wikipedia maka peran guru harus berubah dari
pengajar menjadi fasilitator. Artinya, guru berperan memberikan pelayanan untuk
memudahkan peserta didik berproses belajar. (Wina Senjaya; 2008). Konsekuensinya,
hubungan guru-peserta didik mewujud dalam hubungan kemitraan dan bukan
”atasan-bawahan”.
Dalam hal ini guru bertindak sebagai pendamping siswa dalam
suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Agar dapat berperan optimal
sebagai fasilitator, guru perlu menyediakan media dan sumber belajar yang cocok
dan beragam dalam tiap kegiatan pembelajaran. Artinya, guru harus lebih
inovatif memilih dan menggunakan media pembelajaran.
Memanfaatkan internet dengan menghadirkan native speaker
melalui Skype misalnya, adalah satu alternatif berkait pembelajaran bahasa
asing. Mengunggah hasil rekaman wawancara peserta didik ke Youtube untuk
disaksikan bersama di kelas langsung lewat internet adalah alternatif yang
lain. Di samping menarik, cara ini juga memberi rasa bangga bagi peserta didik.
Tentu saja, semua itu menuntut guru tidak gagap teknologi.
Nilai-Nilai Kemanusiaan
Era digital menjadikan peserta didik makin individualis.
Mereka asyik dan terpesona dengan barang-barang baru beriptek canggih dan
cenderung melupakan kesejahteraan diri sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah sebaiknya
memberikan keseimbangan pada kehidupan kebersamaan yang menumbuhkembangkan
nilainilai kemanusiaan. Guru ditantang untuk menciptakan suasana menyenangkan
di sekolah dan di setiap pembelajaran.
Guru yang ramah, peduli, apresiatif terhadap karya siswa
akan menjadi role model yang inspiratif bagi peserta didik. Ditambah lagi, bila
pembelajaran diselenggarakan secara inovatif, sekolah akan menjadi magnet luar
biasa yang selalu dirindukan siswa. Mampukan guru menjawab tantangan itu?
Sumber : berita.suaramerdeka.com