Laman

21 September 2015

Tantangan Guru pada Era Digital


“Ketika delivering knowledge telah digantikan oleh Google dan Wikipedia maka peran guru harus berubah dari pengajar menjadi fasilitator”
DALAM waktu amat cepat, beberapa dasa warsa terakhir telah terjadi revolusi digital di berbagai negara beserta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Keberadaan gadget dan internet sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan global. Hal ini sudah tentu memberikan dampak terhadap corak dan pola kehidupan umat manusia secara keseluruhan, tidak terkecuali pada sektor pendidikan. Peserta didik saat ini tak lagi mengandalkan guru dalam memperoleh ilmu pengetahuan.
Dengan cepat, mereka bisa mengakses informasi apa pun yang dibutuhkannya melalui internet. Mulai dari tugas, buku-buku yang harus dibaca, hingga gambar dan video yang bisa dengan mudah dan cepat diperoleh. Di mana saja dan kapan saja bisa diakses. Dalam kondisi seperti itu masihkah guru diperlukan? Dalam berbagai kesempatan, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan bahwa guru memegang kendali yang besar bagi mutu dan kualitas pedidikan. Dengan kata lain, guru menjadi kunci kemajuan pendidikan.

Lalu, dalam peran seperti apakah guru menempatkan diri dalam proses pembelajaran? Metode ”guru menjelaskan” dan ”peserta didik mendengarkan” tentu menjadi metode pembelajaran yang ketinggalan zaman. Bila guru masih bertahan pada cara itu, dapat dipastikan proses pembelajaran menjadi sangat membosankan. Peserta didik pun pasif karena tidak ada keterlibatan secara emosional dalam proses pembelajaran.
Alhasil, pelajaran bagi siswa hanyalah fakta-fakta hafalan tanpa ada ketertarikan dan minat untuk memaknainya. Ketika delivering knowledge telah digantikan oleh Google dan Wikipedia maka peran guru harus berubah dari pengajar menjadi fasilitator. Artinya, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan peserta didik berproses belajar. (Wina Senjaya; 2008). Konsekuensinya, hubungan guru-peserta didik mewujud dalam hubungan kemitraan dan bukan ”atasan-bawahan”.
Dalam hal ini guru bertindak sebagai pendamping siswa dalam suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Agar dapat berperan optimal sebagai fasilitator, guru perlu menyediakan media dan sumber belajar yang cocok dan beragam dalam tiap kegiatan pembelajaran. Artinya, guru harus lebih inovatif memilih dan menggunakan media pembelajaran.
Memanfaatkan internet dengan menghadirkan native speaker melalui Skype misalnya, adalah satu alternatif berkait pembelajaran bahasa asing. Mengunggah hasil rekaman wawancara peserta didik ke Youtube untuk disaksikan bersama di kelas langsung lewat internet adalah alternatif yang lain. Di samping menarik, cara ini juga memberi rasa bangga bagi peserta didik. Tentu saja, semua itu menuntut guru tidak gagap teknologi.
Nilai-Nilai Kemanusiaan
Era digital menjadikan peserta didik makin individualis. Mereka asyik dan terpesona dengan barang-barang baru beriptek canggih dan cenderung melupakan kesejahteraan diri sebagai makhluk sosial.
Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah sebaiknya memberikan keseimbangan pada kehidupan kebersamaan yang menumbuhkembangkan nilainilai kemanusiaan. Guru ditantang untuk menciptakan suasana menyenangkan di sekolah dan di setiap pembelajaran.
Guru yang ramah, peduli, apresiatif terhadap karya siswa akan menjadi role model yang inspiratif bagi peserta didik. Ditambah lagi, bila pembelajaran diselenggarakan secara inovatif, sekolah akan menjadi magnet luar biasa yang selalu dirindukan siswa. Mampukan guru menjawab tantangan itu?

Sumber : berita.suaramerdeka.com